KM Online - KeNUan - Kamis, 9 April 2020
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Sebelum belajar, marilah kita berdoa terlebih dahulu ...
Hari ini kita ada pada sesi pembelajaran online Ke-NU-an. Siswa diharapkan untuk mengikuti langkah-langkah berikut:
1. Membaca materi pelajaran
2. Menjawab pertanyaan dan mengirimkan jawaban (akan dihitung juga sebagai absensi)
Selamat mengikuti.
A. BACALAH MATERI BERIKUT INI
MALAM NISFU SYA'BAN
Sya’ban berarti bulan penuh berkah dan kebaikan. Pada bulan ini Allah membuka pintu rahmat dan ampunan seluas-luasnya. Karenanya, dianjurkan untuk memperbanyak ibadah sunah seperti puasa sunah. Hal ini sebagaimana yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Sebuah hadits mengatakan bahwa Nabi SAW lebih sering puasa sunah di bulan Sya’ban dibandingkan pada bulan lainnya, (HR Al-Bukhari). Selain puasa, menghidupkan malam sya’ban juga sangat dianjurkan khususnya malam nisfu Sya’ban (pertengahan bulan Sya’ban). Maksud menghidupkan malam di sini ialah memperbanyak ibadah dan melakukan amalan baik pada malam nisfu Sya’ban. Sayyid Muhammad bin ‘Alawi Al-Maliki menegaskan bahwa terdapat banyak kemuliaan di malam nisfu Sya’ban; Allah SWT akan mengampuni dosa orang yang minta ampunan pada malam itu, mengasihi orang yang minta kasih, menjawab do’a orang yang meminta, melapangkan penderitaan orang susah, dan membebaskan sekelompok orang dari neraka.
Setidaknya terdapat tiga amalan yang dapat dilakukan pada malam nisfu Sya’ban. Tiga amalan ini disarikan dari kitab Madza fi Sya’ban karya Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki.
Pertama, memperbanyak doa. Kedua, membaca sebanyak-banyaknya dua kalimat syahadat atau kalimat Lailâha illa-Llâh Muhammadan rasûlull-Llâh. Ketiga, memperbanyak istighfar karena tidak ada satu pun manusia yang bersih dari dosa dan salah. Itulah manusia.
Di banyak daerah di Indonesia, malam nisfu Sya‘ban menjadi momen yang ditunggu masyarakat. Mereka biasanya memanfaatkan waktu setelah shalat Maghrib untuk membaca Surat Yasin sebanyak tiga kali. Aktivitas ini lazimnya diiringi dengan berdoa kepada Allah agar diberikan umur panjang, rezeki yang halal, wafat dalam keadaan husnul khatimah, atau lainnya. Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki dalam kitab yang sama memandang kegiatan tersebut sebagai hal yang positif. Menurutnya, ini adalah momen tepat untuk memperbanyak amal saleh dan memanjatkan doa kepada Allah subhanahu wata’ala, baik hajat dunia maupun hajat akhirat
Kata sya‘ban secara bahasa bisa bermakna cabang. Dinamakan demikian karena terdapat cabang-cabang kebaikan di dalamnya. Sebagian ulama berpendapat sya‘ban berasal dari syâ‘a bân yang bermakna terpancarnya keutamaan. Sebagian lain berkata ia dari kata as-syi‘bu, sebuah jalan di gunung sebagai analogi jalan menuju kebaikan puncak. Sementara sebagian ulama lagi berpandangan sya‘ban berasal dari kata as-sya‘bu yang berarti menambal.
Disarikan dari : https://www.nu.or.id/
TAKLID, TALFIQ dan ITIBAK
a. Taklid
Menurut asal usul katanya, istilah taqlid berasal dari qollada yuqollidu taqlidan yang berarti mengikuti , meniru pendapat seseorang. Ada sebagian ulama ahli bahasa menjelaskan bahwa istilah taqlid berasal dari “ qiladah “ yang berarti kalung atau rantai yang diikatkan. Menurut istilah Taqlid ialah menerima atau mengikuti pendapat orang lain, sedangkan engkau tidak mengetahui atas dasar apa berpedapat demikian.
Taqlid bagi NU dengan pengertian yang telah didefinisikan di atas dan ditulis dalam berbagai kitab-kitab Syafi’iyyah adalah mengambil atau mengamalkan pendapat orang lain tanpa mengetahui dalil-dalil atau hujjahnya. Dalam hal ini Dr. Said Romadlan mengutip pendapat Imam Ibnul Qayyim yang disetejui oleh beberapa ulama sebagai berikut “ Telah lengkapnya kitab-kitab Assunnah saja belum cukup untuk dijadikan landasan fatwa, tetapi juga diperlukan adanya tingkat kemapuan istinbath dan keahlian berpikir, bagi yang tidak memiliki kemampuan tersebut, maka ia berkewajiban mengikuti firman Allah SWT yang terdapat dalam QS. An-Nahl ayat 43, yang berarti harus bertaqlid.”
Jadi taqlid dalam pandangan NU sebenarnya merupakan pengamalan ajaran agama Islam dengan cara mengikuti beberapa pendapat ulama ( Syafi’iyyah) yang proses pembelajarannya melalui silsilah sanad yang sampai pada pengarang kitab tersebut, yang dalam ilmu hadits disebut metode isnad.
Dalam ajaran Aswaja setiap orang mukalaf yang bukan mujtahid, maka ia diperkenankan untuk melakukan taqlid.
b. Talfiq
Talfiq adalah beramal dalam suatu maslah menurut hukum yang merupakan gabungan dari dua madzhab atau lebih. Maksudnya, mengambil atau mengikuti hukum dari suatu peristiwa atau kejadian dengan mengambilnya dari berbagai madzhab.
Contoh yang mudah dipahami adalah tentang wudlu’, kita ambil urusan niat dan membasuh kepala :
1) Menurut madzhab Hanafi, niat tidak wajib dan kepala harus diusap minimal seperempatnya.
2) Menurut madzhab Syafi’I, niat wajib dan kepala harus diusap sebagia kecil, (sehelai rambutpun cukup)
3) Menurut madzhab Maliki, niat wajib dan kepala harus diusap seluruhnya.
4) Menurut madzhab Hambali, niat wajib dan kepala harus diusap seluruhnya.
Seandainya ada yang berwudlu’ tanpa niat (mengikuti madzhab Hanafi) dan hanya mengusap sehelai rambutnya (mengikuti madzhab Syafi’i) maka, melakukan wudlu’ secara demikian disebut Talfiq
Ulama ushul dan Ulama Fiqih berbeda pendapat tentang boleh dan tidaknya bertalfiq. Perbedaan ini bersumber dari masalah boleh dan tidaknya seseorang berpindah dari satu madzhab ke madzhab lain. Dalam masalah ini, mereka terbagi menjadi tiga kelompok :
Kelompok Pertama : berpendirian bahwa manakala seseorang telah memilih suatu madzhab harus berpegang pada madzhab yang telah dipilihnya. Seseorang tidak dibenarkan pindah secara keseluruhan atau sebagian (talfiq) kemadzhab lain. Kelompok ini dipelopori oleh Imam Qaffal.
Kelompok Kedua : Berpendirian bahwa orang yang telah memilih satu madzhab, Islam tidak melarang untuk pindah ke madzhab lain walaupun maksud berpindahnya itu untuk mencari ketenangan.
Ia dibenarkan mengambil dari tiap-tiap pendapat dari madzhab yang dipandangnya mudah dan ringan, selama tidak membawa kepada dosa. Hal ii sejalan dengan hadits riwayat Aisyah “ Sesungguhnya Rasulullah senang mempermudah umatnya “
Kelompok Ketiga : Berpendirian bahwa seseorang yang telah memilih satu madzhab dapa berpindah ke madzhab lain walaupun bermotivasi mencari kemudahan, dengan syarat bukan dalam kasus hukum (dalam kesatuan Qadlliyah) yang sepakat dibatalkan oleh imam madzhabnya yang semula dan imam mazdhab yang baru.
c. Itiba'
Perkataan ittiba’ (dalam bahasa Arab ittiba’) berarti menuruti atau mengikuti, sedangkan menurut istilah pengertian ittiba’ adalah menerima perkataan orang lain dengan mengetahui sumber alas an perkataan tersebut atau mengkuti pendapat mujtahid dengan mengetahui dalil-dalinya.
Orang yan melakukan ittiba’ disebut Muttabi’ yakni orang yang tidak mampu berijtihad tetapi mengetahui dalil-dalil para mujtahid
Ittiba’ ada dua macam, yaitu :
1) Ittiba’ kepada Allah dan RasulNya
2) Dan ittiba’ kepada selain Allah dan Rasul-Nya yaitu kepada ulama sebagai waratsatul anbiya’
Sesuai dengan jiwa Islam agar perbuatan seseorang itu betul-betul berjalan di atas rel yang benar, maka kita diperintahkan bahkan diwajibkan ittiba’ kepada Nabi,
Ittiba’ kepada ulama dengan mengerti alasan dan dalilnya yang jelas termasuk perbuatan yang utama, karena seseorang yang yang berittiba’ berarti ia menjalankan sesuatu dengan pengertian berpedoman kepada Sunnah Nabi.
Bagi orang yang sudah mampu untuk berijthad, maka wajib berijtihad. Jika belum sampai taraf itu tetapi mempunyai pengetahuan maka wajib berittiba'. Namun orang yang awam cukup bertaqlid pada kiai dan ustadz. Dengan kata lain, orang awam tidak dibebani repot-repot mencari dalil. Orang awam beragama di level terendah dengan cukup mengikuti apa kata kiai atau ustadz. Dalam organisasi NU, taklid kepada kyai diwujudkan dalam khidmat untuk mengikuti anjuran. Termasuk dalam pencegahan penyebaran Covid-19.
Akhir-akhir ini, banyak yang salah sangka bahwa kita lebih takut pada Virus Corona daripada kepada Allah. Banyak yang menyalahkan perbuatan seperti itu, termasuk pada anjuran-anjuran PBNU. Padahal, Rasulullah sendiri meminta kita untuk menjauhi penyakit berbahaya. Di antara penyakit menular yang berbahaya adalah hansen (dulu disebut kusta atau lepra). Di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam penyakit ini sudah dikenal. Penderita penyakit ini dapat dikenali dari lesi (area jaringan yang telah rusak karena cedera atau sakit) pada kulitnya sehingga bisa dilihat dari luar. Untuk mencegah dari terluar penyakit ini Rasulullah memerintahkan untuk menjauh dari si penderita. Atau dengan kata lain agar dilakukan isolasi terhadap penderita agar tidak menular kepada mereka yang sehat. Virus Corona ini lebih berbahaya daripada penyakit lepra. Jika penderita lepra dapat dilihat dari luar, maka penyakit Corona hanya dapat dipastikan lewat uji laboratorium sehingga tidak mudah dikenali. Umumnya orang yang terkena virus ini baru masuk ke rumah sakit pada hari ketujuh. Dari hari pertama hingga keempat orang-orang yang terkena penyakit ini masih bisa beraktivitas sebagaimana orang sehat karena memang pada masa inkubasi fase pertama ini mereka tidak merasakan sakit. Keadaan itulah yang menyulitkan untuk menentukan siapa di antara sekumpulan orang banyak, seperti jamaah shalat Jumat, yang sebenarnya telah terkena penyakit Corona. Apalagi sebagian besar dari mereka, termasuk pengurus masjid, bukanlah orang-orang yang memiliki kompetensi di bidang kesehatan yang memungkinkan melakukan deteksi dini.
Ada lagi yang mencemooh anjuran untuk meniadakan sementara Sholat Jumat dan sebagai gantinya untuk sholat Dhuhur di rumah. fatwa ulama meniadakan shalat Jumat sebagaimana diuraikan di atas telah sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan kata lain fatwa itu dikeluarkan justru karena rasa takut mereka kepada Allah subhanahu wata’ala. Mereka sadar betul akan besarnya tanggung jawab di hadapan Allah atas kemaslahatan umat dengan lebih mendahulukan upaya menghindari kerusakan (mafsadat) daripada mencari kebaikan (mashalih). Jadi tidak benar para ulama itu telah menempatkan virus Corona (Covid-19) lebih tinggi di atas tuhannya. Na’udzu billahi min dzalik.
Sumber: diramu dari berbagai sumber, terutama www.nu.or.id
B. JAWABLAH SOAL BERIKUT, KEMUDIAN KLIK SUBMIT (AKAN DIGUNAKAN JUGA SEBAGAI ABSENSI)
Jawablah pertanyaan berikut, kemudian klik SUBMIT atau KIRIM sampai keluar tulisan "Tanggapan anda sudah direkam". Isikan nama, pilih kelas, jawab 2 pertanyaan. Jika pertanyaan tidak terlihat, silakan geser ke bawah.
Setelah itu, kamu bisa melihat apakah jawabanmu sudah masuk apa belum. Jika belum maka bisa dijawab ulang. Silakan periksa klik di SINI
Sampai jumpa,
Wallahulmuwafiq ilaa aqwamittariq
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Sebelum belajar, marilah kita berdoa terlebih dahulu ...
Hari ini kita ada pada sesi pembelajaran online Ke-NU-an. Siswa diharapkan untuk mengikuti langkah-langkah berikut:
1. Membaca materi pelajaran
2. Menjawab pertanyaan dan mengirimkan jawaban (akan dihitung juga sebagai absensi)
Selamat mengikuti.
A. BACALAH MATERI BERIKUT INI
MALAM NISFU SYA'BAN
Sya’ban berarti bulan penuh berkah dan kebaikan. Pada bulan ini Allah membuka pintu rahmat dan ampunan seluas-luasnya. Karenanya, dianjurkan untuk memperbanyak ibadah sunah seperti puasa sunah. Hal ini sebagaimana yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Sebuah hadits mengatakan bahwa Nabi SAW lebih sering puasa sunah di bulan Sya’ban dibandingkan pada bulan lainnya, (HR Al-Bukhari). Selain puasa, menghidupkan malam sya’ban juga sangat dianjurkan khususnya malam nisfu Sya’ban (pertengahan bulan Sya’ban). Maksud menghidupkan malam di sini ialah memperbanyak ibadah dan melakukan amalan baik pada malam nisfu Sya’ban. Sayyid Muhammad bin ‘Alawi Al-Maliki menegaskan bahwa terdapat banyak kemuliaan di malam nisfu Sya’ban; Allah SWT akan mengampuni dosa orang yang minta ampunan pada malam itu, mengasihi orang yang minta kasih, menjawab do’a orang yang meminta, melapangkan penderitaan orang susah, dan membebaskan sekelompok orang dari neraka.
Setidaknya terdapat tiga amalan yang dapat dilakukan pada malam nisfu Sya’ban. Tiga amalan ini disarikan dari kitab Madza fi Sya’ban karya Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki.
Pertama, memperbanyak doa. Kedua, membaca sebanyak-banyaknya dua kalimat syahadat atau kalimat Lailâha illa-Llâh Muhammadan rasûlull-Llâh. Ketiga, memperbanyak istighfar karena tidak ada satu pun manusia yang bersih dari dosa dan salah. Itulah manusia.
Di banyak daerah di Indonesia, malam nisfu Sya‘ban menjadi momen yang ditunggu masyarakat. Mereka biasanya memanfaatkan waktu setelah shalat Maghrib untuk membaca Surat Yasin sebanyak tiga kali. Aktivitas ini lazimnya diiringi dengan berdoa kepada Allah agar diberikan umur panjang, rezeki yang halal, wafat dalam keadaan husnul khatimah, atau lainnya. Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki dalam kitab yang sama memandang kegiatan tersebut sebagai hal yang positif. Menurutnya, ini adalah momen tepat untuk memperbanyak amal saleh dan memanjatkan doa kepada Allah subhanahu wata’ala, baik hajat dunia maupun hajat akhirat
Kata sya‘ban secara bahasa bisa bermakna cabang. Dinamakan demikian karena terdapat cabang-cabang kebaikan di dalamnya. Sebagian ulama berpendapat sya‘ban berasal dari syâ‘a bân yang bermakna terpancarnya keutamaan. Sebagian lain berkata ia dari kata as-syi‘bu, sebuah jalan di gunung sebagai analogi jalan menuju kebaikan puncak. Sementara sebagian ulama lagi berpandangan sya‘ban berasal dari kata as-sya‘bu yang berarti menambal.
Disarikan dari : https://www.nu.or.id/
TAKLID, TALFIQ dan ITIBAK
a. Taklid
Menurut asal usul katanya, istilah taqlid berasal dari qollada yuqollidu taqlidan yang berarti mengikuti , meniru pendapat seseorang. Ada sebagian ulama ahli bahasa menjelaskan bahwa istilah taqlid berasal dari “ qiladah “ yang berarti kalung atau rantai yang diikatkan. Menurut istilah Taqlid ialah menerima atau mengikuti pendapat orang lain, sedangkan engkau tidak mengetahui atas dasar apa berpedapat demikian.
Taqlid bagi NU dengan pengertian yang telah didefinisikan di atas dan ditulis dalam berbagai kitab-kitab Syafi’iyyah adalah mengambil atau mengamalkan pendapat orang lain tanpa mengetahui dalil-dalil atau hujjahnya. Dalam hal ini Dr. Said Romadlan mengutip pendapat Imam Ibnul Qayyim yang disetejui oleh beberapa ulama sebagai berikut “ Telah lengkapnya kitab-kitab Assunnah saja belum cukup untuk dijadikan landasan fatwa, tetapi juga diperlukan adanya tingkat kemapuan istinbath dan keahlian berpikir, bagi yang tidak memiliki kemampuan tersebut, maka ia berkewajiban mengikuti firman Allah SWT yang terdapat dalam QS. An-Nahl ayat 43, yang berarti harus bertaqlid.”
Jadi taqlid dalam pandangan NU sebenarnya merupakan pengamalan ajaran agama Islam dengan cara mengikuti beberapa pendapat ulama ( Syafi’iyyah) yang proses pembelajarannya melalui silsilah sanad yang sampai pada pengarang kitab tersebut, yang dalam ilmu hadits disebut metode isnad.
Dalam ajaran Aswaja setiap orang mukalaf yang bukan mujtahid, maka ia diperkenankan untuk melakukan taqlid.
b. Talfiq
Talfiq adalah beramal dalam suatu maslah menurut hukum yang merupakan gabungan dari dua madzhab atau lebih. Maksudnya, mengambil atau mengikuti hukum dari suatu peristiwa atau kejadian dengan mengambilnya dari berbagai madzhab.
Contoh yang mudah dipahami adalah tentang wudlu’, kita ambil urusan niat dan membasuh kepala :
1) Menurut madzhab Hanafi, niat tidak wajib dan kepala harus diusap minimal seperempatnya.
2) Menurut madzhab Syafi’I, niat wajib dan kepala harus diusap sebagia kecil, (sehelai rambutpun cukup)
3) Menurut madzhab Maliki, niat wajib dan kepala harus diusap seluruhnya.
4) Menurut madzhab Hambali, niat wajib dan kepala harus diusap seluruhnya.
Seandainya ada yang berwudlu’ tanpa niat (mengikuti madzhab Hanafi) dan hanya mengusap sehelai rambutnya (mengikuti madzhab Syafi’i) maka, melakukan wudlu’ secara demikian disebut Talfiq
Ulama ushul dan Ulama Fiqih berbeda pendapat tentang boleh dan tidaknya bertalfiq. Perbedaan ini bersumber dari masalah boleh dan tidaknya seseorang berpindah dari satu madzhab ke madzhab lain. Dalam masalah ini, mereka terbagi menjadi tiga kelompok :
Kelompok Pertama : berpendirian bahwa manakala seseorang telah memilih suatu madzhab harus berpegang pada madzhab yang telah dipilihnya. Seseorang tidak dibenarkan pindah secara keseluruhan atau sebagian (talfiq) kemadzhab lain. Kelompok ini dipelopori oleh Imam Qaffal.
Kelompok Kedua : Berpendirian bahwa orang yang telah memilih satu madzhab, Islam tidak melarang untuk pindah ke madzhab lain walaupun maksud berpindahnya itu untuk mencari ketenangan.
Ia dibenarkan mengambil dari tiap-tiap pendapat dari madzhab yang dipandangnya mudah dan ringan, selama tidak membawa kepada dosa. Hal ii sejalan dengan hadits riwayat Aisyah “ Sesungguhnya Rasulullah senang mempermudah umatnya “
Kelompok Ketiga : Berpendirian bahwa seseorang yang telah memilih satu madzhab dapa berpindah ke madzhab lain walaupun bermotivasi mencari kemudahan, dengan syarat bukan dalam kasus hukum (dalam kesatuan Qadlliyah) yang sepakat dibatalkan oleh imam madzhabnya yang semula dan imam mazdhab yang baru.
c. Itiba'
Perkataan ittiba’ (dalam bahasa Arab ittiba’) berarti menuruti atau mengikuti, sedangkan menurut istilah pengertian ittiba’ adalah menerima perkataan orang lain dengan mengetahui sumber alas an perkataan tersebut atau mengkuti pendapat mujtahid dengan mengetahui dalil-dalinya.
Orang yan melakukan ittiba’ disebut Muttabi’ yakni orang yang tidak mampu berijtihad tetapi mengetahui dalil-dalil para mujtahid
Ittiba’ ada dua macam, yaitu :
1) Ittiba’ kepada Allah dan RasulNya
2) Dan ittiba’ kepada selain Allah dan Rasul-Nya yaitu kepada ulama sebagai waratsatul anbiya’
Sesuai dengan jiwa Islam agar perbuatan seseorang itu betul-betul berjalan di atas rel yang benar, maka kita diperintahkan bahkan diwajibkan ittiba’ kepada Nabi,
Ittiba’ kepada ulama dengan mengerti alasan dan dalilnya yang jelas termasuk perbuatan yang utama, karena seseorang yang yang berittiba’ berarti ia menjalankan sesuatu dengan pengertian berpedoman kepada Sunnah Nabi.
Bagi orang yang sudah mampu untuk berijthad, maka wajib berijtihad. Jika belum sampai taraf itu tetapi mempunyai pengetahuan maka wajib berittiba'. Namun orang yang awam cukup bertaqlid pada kiai dan ustadz. Dengan kata lain, orang awam tidak dibebani repot-repot mencari dalil. Orang awam beragama di level terendah dengan cukup mengikuti apa kata kiai atau ustadz. Dalam organisasi NU, taklid kepada kyai diwujudkan dalam khidmat untuk mengikuti anjuran. Termasuk dalam pencegahan penyebaran Covid-19.
Akhir-akhir ini, banyak yang salah sangka bahwa kita lebih takut pada Virus Corona daripada kepada Allah. Banyak yang menyalahkan perbuatan seperti itu, termasuk pada anjuran-anjuran PBNU. Padahal, Rasulullah sendiri meminta kita untuk menjauhi penyakit berbahaya. Di antara penyakit menular yang berbahaya adalah hansen (dulu disebut kusta atau lepra). Di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam penyakit ini sudah dikenal. Penderita penyakit ini dapat dikenali dari lesi (area jaringan yang telah rusak karena cedera atau sakit) pada kulitnya sehingga bisa dilihat dari luar. Untuk mencegah dari terluar penyakit ini Rasulullah memerintahkan untuk menjauh dari si penderita. Atau dengan kata lain agar dilakukan isolasi terhadap penderita agar tidak menular kepada mereka yang sehat. Virus Corona ini lebih berbahaya daripada penyakit lepra. Jika penderita lepra dapat dilihat dari luar, maka penyakit Corona hanya dapat dipastikan lewat uji laboratorium sehingga tidak mudah dikenali. Umumnya orang yang terkena virus ini baru masuk ke rumah sakit pada hari ketujuh. Dari hari pertama hingga keempat orang-orang yang terkena penyakit ini masih bisa beraktivitas sebagaimana orang sehat karena memang pada masa inkubasi fase pertama ini mereka tidak merasakan sakit. Keadaan itulah yang menyulitkan untuk menentukan siapa di antara sekumpulan orang banyak, seperti jamaah shalat Jumat, yang sebenarnya telah terkena penyakit Corona. Apalagi sebagian besar dari mereka, termasuk pengurus masjid, bukanlah orang-orang yang memiliki kompetensi di bidang kesehatan yang memungkinkan melakukan deteksi dini.
Ada lagi yang mencemooh anjuran untuk meniadakan sementara Sholat Jumat dan sebagai gantinya untuk sholat Dhuhur di rumah. fatwa ulama meniadakan shalat Jumat sebagaimana diuraikan di atas telah sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan kata lain fatwa itu dikeluarkan justru karena rasa takut mereka kepada Allah subhanahu wata’ala. Mereka sadar betul akan besarnya tanggung jawab di hadapan Allah atas kemaslahatan umat dengan lebih mendahulukan upaya menghindari kerusakan (mafsadat) daripada mencari kebaikan (mashalih). Jadi tidak benar para ulama itu telah menempatkan virus Corona (Covid-19) lebih tinggi di atas tuhannya. Na’udzu billahi min dzalik.
Sumber: diramu dari berbagai sumber, terutama www.nu.or.id
B. JAWABLAH SOAL BERIKUT, KEMUDIAN KLIK SUBMIT (AKAN DIGUNAKAN JUGA SEBAGAI ABSENSI)
Jawablah pertanyaan berikut, kemudian klik SUBMIT atau KIRIM sampai keluar tulisan "Tanggapan anda sudah direkam". Isikan nama, pilih kelas, jawab 2 pertanyaan. Jika pertanyaan tidak terlihat, silakan geser ke bawah.
Setelah itu, kamu bisa melihat apakah jawabanmu sudah masuk apa belum. Jika belum maka bisa dijawab ulang. Silakan periksa klik di SINI
Sampai jumpa,
Wallahulmuwafiq ilaa aqwamittariq
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Post a Comment for "KM Online - KeNUan - Kamis, 9 April 2020"